ISTILAH SUNDA TERCANTUM DIBUKU PTOLEMAEUS TAHUN 150 MASEHI
Bandung, 16/12 (ANTARA) - Istilah Sunda sebagai nama tempat, pertama kali
disebut oleh ahli ilmu bumi dari Yunani, Ptolemaeus dalam bukunya tahun
150 Masehi, kata Prof Dr drs Edi Suhardi Ekadjati, dalam pidato pengukuhan
dirinya selaku Guru Besar Ilmu Sej arah di Universitas Padjadjaran,
Bandung, Sabtu.
Mengutip buku Atmamihardja (1958: 8), Edi menjelaskan, Ptolemaeus
menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di
sebelah timur India.
Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan
kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India, kata
Edi yang kini Kepala Museum Konferensi Asia Afika dan dosen di Unpad serta
Unpar Bandung.
Dari penelurusan kepustakaan, katanya, kata Sunda seperti dikatakan
Rouffaer (1905: 16), merupakan pinjaman kata dari kebudayaan Hindu seperti
juga kata-kata Sumatera, Madura, Bali, Sumbawa yang semuanya menunjukkan
nama tempat.
Kata Sunda sendiri, menurut Edi, kemungkinan berasal dari akar kata "sund"
atau kata "suddha" dalam bahasa Sanskerta yang mengandung makna: bersinar,
terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa 1949: 289). Dalam bahasa Jawa
kuna (Kawi) dan bahasa Bal i pun terdapat kata "Sunda" dengan pengertian:
bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada
(Mardiwarsito, 1990: 569-57, Anandakusuma, 1986: 185-186; Winter, 1928:
219).
Ahli geologi Belanda RW van Bemmelen, mengatakan, Sunda adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut India
Timur, sedangkan dataran bagian tenggaranya dinamai Sahul, ujar Edi.
Dataran Sunda dikelilingi sistem Gunung Sun da yang melingkar
(circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekitar 7000 km.
Edi mengemukakan, dataran Sunda terdiri dari dua bagian utama, yaitu
bagian utara, meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang
Lautan Pasifik bagian barat, serta bagian selatan yang terbentang dari
barat sampai ke timur mulai Lembah Brahm aputera di Assam (India) hingga
Maluku bagian selatan.
Dataran Sunda itu bersambung dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di
barat dan dataran Sahul di timur, kata Edi, mengedepankan pendapat van
Bemmelen (1949: 2-3).
Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda
diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda
Besar dan Kepulauan Sunda Kecil.
Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari
Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan
gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen,
1949:15-16).
Mengutip Gonda (1973:345-346), Edi mengatakan, pada mulanya kata "suddha"
dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada nama sebuah gunung yang menjulang
tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari jauh tampak putih karena
tertutup abu asal gunung tersebut.
Gunung Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu.
Kemudian nama tersebut diterapkan pula pada wilayah gunung itu berada dan
penduduknya.
Menurut Edi, mungkin sekali, pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian
barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di India
yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar (ENI, IV,
1921:14-15).
Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang
beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan
Sunda itu telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada
tahun 1579 Masehi, katanya, men gutip Danasasmita dkk, III, 1984:1-27 dan
Djajadiningrat, 1913:75.
Setelah keruntuhan Kerajaan Sunda, eksistensi dan peranan Sunda tidak lagi
menonjol di daerahnya sendiri, apalagi di wilayah Nusantara, baik dalam
hubungan geografis, sosial, politik maupun kebudayaan. Keadaan seperti
itu berlangsung sekitar tiga aba d hingga awal abad ke-20 Masehi, karena
pengaruh kekuasaan dari luar yaitu kekuasaan dan kebudayaan Islam, Jawa,
Eropa (terutama Belanda).
Di antara pengaruh-pengaruh luar itu yang paling melekat dan meresap ke
dalam masyarakat Sunda adalah Islam, baru kemudian Jawa dan selanjutnya
Eropa, kata Edi.
Paguyuban Pasundan
Identitas Sunda muncul lagi awal abad ke-20 dengan lahirnya Paguyuban
Pasundan (1914), yaitu suatu perkumpulan yang berorientasi pada sosial
budaya Sunda, setelah melewati proses kebangkitan bahasa dan sastra Sunda
sejak pertengahan abad ke-19.
Usul tersebut disetujui pemerintah kolonial sehingga ketetapan pembentukan
provinsi tersebut antara lain berbunyi, " Jawa Barat, dalam bahasa orang
pribumi (bahasa Sunda) menunjuk sebagai Pasundan". Dalam perjalanan
sejarah, Paguyuban Pasundan antara lain sejak 1918 berintegrasi dengan
aktivitas kaum pergerakan nasional yang menuntut kemerdekaan, bebas dari
penjajah.
Prof Edi Suhardi Ekadjati dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, 25 Maret
1945. Ia, suami Hj Utin Nur Husna dan kini dikaruniai empat anak. Edi
adalah Sarjana Sastra Unpad (1971), kemudian melanjutkan studi di Program
Filologi untuk Sejarah, Rikjsuniver siteit, Leiden (1975), lalu meraih
Doktor di Universitas Indonesia (1979).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar