Tue, 27 Jun 2006 13:51:20 -0700
Pentingnya Sikap
Seorang Fotografer
Link
Oleh Rony Simanjuntak
Soal kecanggihan teknologi kamera saat ini sudah tidak diragukan lagi. Mode pemotretannya pun semakin lengkap saja. Bahkan seorang fotografer awam sekalipun kini dengan waktu yang singkat telah mampu menghasilkan sebuah foto yang mirip bidikan setara fotografer profesional. Pertanyaannya kini adalah, apakah fotografi itu sesungguhnya ditentukan oleh sebuah kamera dan mengabaikan sikap dari sang fotografer itu sendiri?
Terlepas dari peranan subyek dan peralatan yang tentunya penting, Paul I. Zacharia mengatakan bahwa di balik setiap foto yang baik itu harus ada suatu sikap berfotografi yang baik dan tepat pada si fotografernya. Mungkin terdengar sederhana sekali. Tapi makin direnungi, fakta ini makin terasa kuat. Seseorang tidak mungkin menghasilkan foto yang baik, yang berkesan, apalagi yang berwatak bila tidak dilandasi sikap mental yang tepat. Kedewasaan kepribadian dari para fotografer yang berhasil, adalah faktor yang membedakan fotonya dengan foto-foto indah dari fotografer biasa.
Fotografi adalah media ekspresi diri seniman foto, tetapi juga media foto dokumenter. Yang umum terjadi adalah kerancuan, orang awam yang menghadapi orang yang membawa kamera:lalu menganggapnya ahli foto atau fotografer. Padahal hasil karya dari dari kedua jenis insan ini lain sekali. Meski waktu pemotretan, peralatan dan subjeknya bisa saja sama seratus persen, hasil yang didapat bisa berbeda, karena pendekatan dan perlakuan masing-masing terhadap subjek berbeda.
Pendekatan dan perlakuan ini berbeda karena sikap fotografis berbeda. Fotografer yang telah menyeleksi sikapnya akan menanggapi subjek fotonya dengan melakukan seleksi peralatan dan teknik yang berbeda dalam pemotretan. Seleksi sudut pandang, panjang lensa, kecepatan rana, penyinaran dan lainnya. Bahkan pemakaian alat bantu dan seleksi lokasi yang dibayangkannya perlu dilakukan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Bila kita ingin melihat cepat perbedaan ini coba amati gaya iklan foto dari media di sekitar kita. Ada yang penyampaiannya sangat langsung, ada yang sugestif, ada yang insinuatif. Bahkan di media massa seni atau desain, ada yang sangat mengundang tanya karena sifatnya yang individual kontemporer. Semua ini tentunya dipengaruhi oleh konsep art director, fotografer, dan strata sosial publik yang dihadapi. Pada kenyataannya, hasil sebuah karya foto ternyata sangat ditentukan oleh sikap dan kepribadian sang fotografer. Sikap dan kepribadian mereka sangat ikut menentukan bagaimana hasil fotonya.
Pada fotografer yang baik, subyek yang dihadapinya bukanlah suatu situasi yang pasif. Tapi, sesuatu yang melontarkan tantangan untuk digali dan dieksploitasi secara optimal. Untuk mencapainya perlu miliki sikap dasar yang sensitif dan perseptif terhadap subjek tersebut. Bahkan seyogyanya menumbuhkan suatu sikap akrab terhadap subjek. Hakikat dari subjek harus terekam dan tersirat dalam sebidang gambar yang relatif kecil, sehingga foto yang dihasilkan memancarkan keintiman dengan subjeknya.
Menghayati Subjek
Walau berbekal peralatan yang canggih, tetap saja banyak karya foto yang kurang berkesan apalagi berjiwa. Semuanya karena perekaman situasi itu baru pada tahap teknis eksak belaka, belum merenggut jiwa dari esensi subyek secara mendalam. Penghayatan mendalam tidak akan timbul bila belum mengenal subyek atau menguasai medan, dan tanpa sensitivitas yang cukup.
Don Mc Cullin sebagai seorang wartawan foto telah berhasil menggugah dunia lewat karyanya tentang bencana perang di Bangladesh dan India. Ini terjadi karena dia sangat terenyuh menyaksikan ketidakberdayaan manusia yang terkena musibah. Sebagian dari kita mungkin enggan untuk menjalani sikap seperti itu. Tapi foto yang berhasil, dilahirkan lewat sensitivitas dan komitmen untuk menghayati subjek dengan mendalam.
Dalam mengamati karya yang unik, humoristis, atau candid kadang timbul pertanyaan bagaimana fotografer menemukannya.Apalagi jika kita kebetulan bisa bersama dengannya pada saat foto itu tercipta. Hal ini hanya mungkin karena adanya sikap apresiatif yang yang sedikit lebih pada fotografer ini. Sesuatu yang tampak biasa dapat terasa memiliki keistimewaan bagi orang yang jeli. Namun tidak mudah menjadi jeli tanpa sikap menghargai keunikan yang ada di depan kita.
Menarik untuk menyimak kata-kata Henri Cartier- Bresson "Semua itu baru, semua itu menarik" (everything is new, everything is interesting). Seorang fotografer diharapkan memandang segala sesuatu ini dengan visi yang selalu segar. Ia seyogyanya mengagumi dan mencintai segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, tidak mugkin seorang introvert atau pemurung diharapkan terkesan pada lucunya anak kecil, yang terjatuh karena memakai sepatu ibunya. Sebaliknya, seseorang yang sangat luas dan beragam minatnya, terutama pada seni dan kondisi sosial, bisa dipastikan lebih mungkin jadi fotografer jeli.
Pendekatan fotografer dengan subyeknya, apalagi jika itu manusia atau kelompok sosial tertentu, membutuhkan pendekatan yang terampil. Menurut MAW Brouwer almarhum, lebih banyak orang yang berhasil dalam kehidupannya karena social intelligence yang tinggi. Artinya, keterampilan bersosialisasi amat penting bagi fotografer yang ingin berhasil. Bila itu berarti sopan santun adat yang khusus, maka mutlak perlu dipelajari, agar kehadiran kita tidak mengganggu ketenteraman.
Humor yang tinggi juga menunjang seseorang untuk diterima oleh suatu lingkungan atau keluar dari masalah. Tiap bangsa senang akan keramahan dan kebaikan yang tulus. Penguasaan bahasa universal seperti senyum, murah hati, bahkan berbagi tawa akan menolong sekali. Inilah umumnya kelemahan utama banyak fotografer dalam perkumpulan atau yang belum dewasa. Bukan hanya karena belum cukup memiliki keterampilan teknis, tapi yang menyedihkan mereka yang sudah terampil pun banyak yang tidak yakin.
Hal ini tidak lepas dari pola pembinaan dan iklim dalam perkumpulan yang berorientasi pada lomba-lomba foto yang hasilnya sangat tergantung selera juri-jurinya. Padahal selera juri tersebut tidaklah selalu akomodatif dan progesif. Maka tidak heran jika ``gaya`` fotografi yang bergulir, dari potret orang tua dan kehidupan desa yang satu, ke orang tua dan kehidupan desa yang lain. Atau dari gebyar warna penari ayu satu, ke penari cakep yang lain.dengan kostum dan lokasi lain pula.
Sangat jarang dijumpai pemotret pemula yang berani memotret subjek/objek yang tidak umum. Mana ada foto-foto pemandangan apalagi foto flora fauna tampak di katalog salon foto atau lomba? Mana ada foto makro atau alam benda (still life) jadi hit dalam salonfoto? Apalagi foto eksperimental. Selama ini hanya foto yang klasik standar salonfoto saja yang berhak tampil dalam katalog. Selain itu banyak juri, juga kalangan perkumpulan, yang masih alergi pada foto tanpa manusia. Sehingga, menyebabkan foto-foto demikian akan tercampak keluar bagaimanapun bagusnya.
Seorang fotografer profesional hampir tidak ada peluang untuk mencari alasan jika gagal membawa pulang gambar setelah bertugas. Masalah apa pun bukan halangan untuk menghasilkan karya dengan baik. Bahkan dalam cuaca yang tidak bersahabat sekalipun ia harus tetap berusaha. Bagi fotografer yang bertugas di luar nyaris berlaku hukum: jam kerja mulai dari subuh sampai pagi sekitar pukul 08.00 saja. Setelah itu bekerja dalam dalam ruang atau dihabiskan dalam perjalanan sambil merencanakan pemotretan berikutnya. Menjelang senja mulai sibuk lagi, sehingga untung kalau perut sampai terisi.
Faktor keberuntungan jelas ada, tetapi hanya akan datang pada mereka yang waspada dan jeli. Faktor ini hanyalah bonus dan bumbu penyedap saja. Disiplin diri tetap penting dan jangan mengandalkan keberutungan saja dalam berkarya.
Sneak preview the all-new Yahoo.com. It's not radically different. Just radically better. __._,_.___
Webmilis : http://lensa.multiply.com
Archive : http://www.mail-archive.com/lensa@yahoogroups.com
Bergabung: [EMAIL PROTECTED]
Posting : lensa@yahoogroups.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar